Al-Ghazālī Tidak Menolak Pengetahuan Indrawi

Wawan Kurniawan, M.Ag

Bahawa al-Ghazālī pernah melalui fasa skeptik adalah pasti. Bahawa al-Ghazali mengaku ia sembuh dari fasa ini berkat cahaya dari Tuhan — terlepas dari apa pun yang ia maksud dengan “cahaya” di sini — juga sudah pasti. Tetapi apa yang persisnya al-Ghazālī ragukan dan apa yang, kalau ada, ia tolak, masih perlu dipastikan dengan lebih cermat lagi. Pertanyaan yang saya mahu ajukan adalah ini: Apakah al-Ghazālī dalam gambarannya mengenai fasa skeptiknya menolak pengetahuan indrawi secara total?

Beberapa sarjana menjawab positif pertanyaan ini. Mari ambil beberapa contoh. Alm. Prof. Harun Nasution (2014 [1973]: 30), setelah mengutip dua contoh dari al-Ghazālī yang nanti akan saya bahas, menulis bahawa al-Ghazali “… tidak percaya pada pancaindera lagi.” Prof. Osman Bakar (2008 [1985]: 129) juga menulis bahawa setelah mencuba meragukan data indrawi, al-Ghazālī sampai pada kesimpulan “ … bahawa kepercayaannya pada data inderawi tidak dapat dipertahankan lagi.” Lebih jauh lagi, indra-indra, kata Prof. Bakar, tidak dapat membantah penilaian salah yang rasio lemparkan kepadanya. Dengan kata lain, ada antagonisme antara rasio versus indra dalam hal ini. 

Pendapat senada juga bisa diungkapkan oleh Dr. Akhmad Sodiq. Setelah menyinggung dua contoh dari al-Ghazālī, dia mencatat (2017: 97–98): “ … Banyak masalah-masalah konkret yang telah ditetapkan dan disimpulkan hukumnya oleh indra disangkal dan dipersalahkan oleh akal sedemikian rupa hingga tak mungkin untuk dibela.” Lagi, akal menjadi satu-satunya daya yang dipertentangkan dengan indra. Semua pembacaan ini terlalu sederhana dan mengabaikan epistemologi al-Ghazālī yang lebih kompleks.

Memang, kata-kata al-Ghazālī sendiri kadang memberikan kesan yang tak salah lagi tentang itu. Sebagai misal, dia katakan setelah menguji beberapa contoh pengetahuan indrawi: “Kepercayaan kepada [pengetahuan tentang] objek-objek indrawi (al-mahsūsāt) telah sirna”. 

Dan saat mulai menguji pengetahuan rasional, dia menulis secara imajiner dan dramatis mewakili indra-indra: “ … Sebelumnya kau percaya padaku, lalu datanglah hakim-akal dan dia tunjukkan aku salah. Kalau bukan kerana hakim akal, pasti kau akan terus menganggapku benar.” (Munqidz, ed. Şalībā dan ‘Ayyād, 66). Singkatnya, al-Ghazālī dalam kalimat ini menggambarkan dirinya dalam masa skeptiknya menolak, berdasarkan penilaian akal semata, keandalan indra per se untuk memperoleh kebenaran. Tetapi benarkah demikian?

Sepemahaman saya, tidak. Masalahnya tidak sesederhana itu. Deskripsi al-Ghazālī mengenai keraguannya mesti, dari segi metodis, dibaca bersama-sama dengan teori epistemologinya. Pada akhirnya, saya hendak menegaskan, al-Ghazālī tidak meragukan indra secara penuh. Diungkapkan secara positif, dia hendak menekankan bahawa indra dapat salah dalam kondisi tertentu, tetapi pasti benar dalam kondisi yang lain. Untuk mendukung klaim ini, kita mesti membaca dengan lebih cermat lagi dua contoh yang al-Ghazālī bahas.

Tentang contoh pertama, al-Ghazālī menulis, “Daya indra terkuat adalah penglihatan. Ia melihat bayangan diam tidak bergerak dan membuat putusan bahawa bayangan tidak bergerak. Tetapi kemudian melalui eksperimen (al-tajribahdan observasi (al-musyāhadah), setelah beberapa saat ia tahu bahawa bayangan bergerak dan bahawa ia bergerak tidak secara spontan dan tiba-tiba, melainkan secara gradual, zarah demi zarah, sehingga ia tidak memiliki kondisi diam.” (Munqidz, 66. Cetak miring dari saya).

Kata kunci dalam kutipan ini adalah “eksperimen” dan “observasi”. Setiap pelajar logika klasik pasti familiar dengan pembedaan antara bentuk atau format silogisme dan isi atau materinya. Dalam karya-karyanya mengenai logika, al-Ghazālī membedakan antara materi silogisme yang berstatus pasti dan yang dugaan. Eksperimen dan observasi tergolong proses epistemik yang mampu menghasilkan materi yang pasti untuk silogisme. Dalam Mi‛yār, al-Ghazālī mendefinisikan putusan eksperimental sebagai putusan yang “pembenaran (tashdīq, assent) terhadapnya berasal dari indra dengan bantuan silogisme yang tersirat” (Mi‛yār, ed. Syams al-Dīn, 179). Jadi, dalam eksperimen bukan hanya ada aspek indrawi, tetapi juga aspek rasional. Eksperimen adalah proses epistemik di mana indra dan akal bekerja sama.

Mengenai observasi, dalam seksi logika dari al-Mustashfā, al-Ghazālī berbicara tentang dua macam observasi: internal dan eksternal. Objek observasi internal adalah keadaan-keadaan psikis kita sendiri, sedangkan objek observasi eksternal adalah objek fisik di luar kita. Pernyataan “aku lapar” dan “aku takut” adalah hasil observasi internal. “Matahari bulat” dan “salju berwarna putih” adalah hasil observasi eksternal. Al-Ghazālī memberikan catatan bahawa observasi indra bisa mengalami kekeliruan karena baik karena yang eksternal dari indra sendiri, seperti jarak bagi penglihatan, maupun kerana faktor internal pada indra. Dan salah satu contoh yang al-Ghazālī berikan adalah kasus bayangan yang sama ini, dan dia menyatakan bahawa dalam kasus ini akal mengoreksi indra. (Mustashfā, ed. Ḥāfizh, 140).

Sekarang, contoh di atas mau mengatakan bahwa penglihatan pada mulanya melihat bayangan tidak bergerak. Tetapi, setelah memeriksa dengan lebih cermat melalui observasi dan eksperimen, penglihatan tahu bahwa sebenarnya bayangan bergerak secara amat perlahan. Dengan kata lain, penglihatan pada mulanya jatuh pada kekeliruan saat memutuskan bahawa bayangan tidak bergerak. Namun demikian, penglihatan juga yang nantinya, bersama dengan akal dalam observasi dan eksperimen, akan mengoreksi kekeliruannya. Tak ada jalan lain untuk memeriksa kekeliruan penglihatan selain penglihatan sendiri. Akan tetapi, kali ini penglihatan mesti berulang-ulang, lebih cermat dan harus bersama akal. Tak ada antagonisme antara indra dan akal di sini.

Mari lanjutkan ke contoh kedua. Al-Ghazālī menulis, “Penglihatan melihat bintang kecil seukuran dinar. Tetapi kemudian dalil-dalil geometri menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada Bumi dalam ukuran.” (Munqidz, 66). Contoh ini sekilas lebih rumit disesuaikan dengan argumen saya, karena al-Ghazālī hanya menyebutkan dalil geometri (dan dengan demikian dalil akal murni) sebagai falsifikator penglihatan.

Tetapi, sejauh dalil-dalil geometri berkenaan dengan objek indrawi, ia masih perlu diperiksa lagi kebenaran dan kekeliruannya. Dengan apa? Dengan pengetahuan indrawi, tentu saja. Dalil rasional tentang objek indrawi hanya bisa berfungsi sebagai hipotesis atau teori yang masih memerlukan veri-falsifikasi indrawi. “Akal murni,” tulis al-Ghazālī dalam Mi‛yār terkait putusan-putusan indrawi, “jika tidak dibersamai indra-indra, tidak bisa membuat putusan-putusan [indrawi] ini. Akal murni hanya bisa mempersepsinya melalui perantaraan indra-indra.” (Mi‛yār, 179)Lebih kena lagi dalam kasus kita ini adalah pernyataan al-Ghazālī dalam bagian logika Mustashfā mengenai pengetahuan bahawa matahari lebih besar daripada bumi: “[Fakta] tersebut diketahui melalui dalil-dalil geometri yang didasarkan atas premis-premis indrawi.” (Mustashfā, 143).

Apa implikasi dari klaim ini untuk kita hari ini?

Al-Ghazālī sering dituduh sebagai orang yang bertanggungjawab atas kemunduran filsafat dan sains sejak abad ke-12 dalam dunia Islam. Sebagaimana Griffel catat baru-baru ini (2023: 407–408), pandangan peyoratif mengenai al-Ghazālī ini berasal dari Ernest Renan (1823–1892), seorang orientalis Perancis, kemudian diteruskan oleh Ignaz Goldziher (1850–1921), dan terus menjadi populer hingga hari ini. Bahkan seorang Steven Weinberg, fisikawan peraih Nobel 1979, juga ikut-ikutan menyebarkan gagasan ini, walau tentu saja sejarah intelektual Islam bukanlah keahliannya. (Setahu saya, buku Goldziher itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan saya belum tahu seberapa berpengaruh gambaran ini di Timur Tengah). Paradoksnya, gambaran ini kadang diamini, sedar ataupun tidak, oleh sebahagian Muslim demi menekankan bahawa al-Ghazālī menemukan kepastian bukan dalam filsafat atau sains, tetapi dalam tasawuf.

Dalam analisis dua contoh di atas, saya telah menunjukkan bahwa al-Ghazālī tidak secara total menolak keandalan indra dalam memperoleh pengetahuan yang benar. Dia hanya menunjukkan bahawa pengetahuan indrawi sehari-hari yang diperoleh melalui indra semata berpotensi keliru — tak ada orang berakal sehat, saya yakin, akan menolak hal inidan bahawa tak ada jalan lain untuk memeriksa kesalah-benarannya selain melalui kerja sama dengan akal melalui eksperimen dan observasi. 

Singkatnya, al-Ghazālī mau mengatakan pengetahuan indrawi sehari-hari hanya bisa diverifikasi dan difalsifikasi melalui metode ilmiah, tentu sebagaimana al-Ghazālī pahami pada zamannya. Artinya, al-Ghazālī, bahkan dalam fase skeptiknya, justru menerima dan menekankan pentingnya metode ilmiah. Mengutip Griffel (2023: 410), “Dalam ontologi atau epistemologi al-Ghazālī, tak ada apa pun yang bisa ditafsir sebagai rintangan untuk studi tentang alam semesta. Malah sebaliknya, al-Ghazālī adalah kampiun ilmu-ilmu rasional dan dia mendukungnya dalam pelbagai karyanya.”


Bacaan Primer

Al-Ghazālī. Mi‛yār al-‛Ilm, ed. Ahmad Syams al-Dīn. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2013. 

_________. al-Mustashfā, ed. Ḥamzah bin Zuhair Ḥāfizh. Madinah: 1413 H.

_________. Al-Munqidz, ed. Jamīl Şalībā dan Kāmil ‘Ayyād.

Bacaan Sekunder

Bakar, Osman. “Posisi Keraguan dalam Epistemologi Islam: Pengalaman Filosofis al-Ghazzali”, dalam Tauhid dan Sains: Perspektif Islam tentang Agama dan Sains, terj. Yuliani Liputo dan M.S. Nasrulloh. Bandung: Pustaka Hidayah, 2008.

Griffel, Frank. “Ash’arite Occasionalist Cosmology, al-Ghazali and the Pursuit of the Natural Sciences in Islamicate Societies”, dalam The Oxford Handbook of the Sciences in Islamicate Societies, ed. Sonja Brentjes. Oxford: Oxford University Press, 2023.

Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2014 [1973].

Sodiq, Akhmad. Epistemologi Islam: Argumen al-Ghazali atas Superioritas Ilmu Ma’rifat. Depok: Kencana, 2017.


Wawan Kurniawan, M.Ag, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Aktif di Avicennian Cirle, Ciputat.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top